Skip to main content

Menjadi Pengguna Gadget yang Bijak


  

Obrolan hangat antar anggota keluarga yang biasa terjadi saat makan malam atau nonton tv bareng, kini sudah menjadi pemandangan langka. Ayah sibuk di depan laptop, ibu tidak mau lepas dari tabletnya, dan anak-anak anteng memandang layar Blackberry-nya. Kadang mereka lebih tahu kabar terbaru orang-orang nun jauh di sana ketimbang orang-orang yang serumah dengannya.
Suka tidak suka, mau tidak mau, gadget terbukti mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat. Sungguh ironis bukan? Kita tidak tahu kalau minggu lalu ada tetangga kita yang meninggal dunia. Tapi kita bisa langsung mengetahui ada truk terguling di Tol Cipularang hanya lima menit setelah kejadian. Padahal, secara fisik kita hidup berdampingan, namun secara kehadiran kita seperti terpisah ribuan kilometer.
Gadget yang terintegrasi dengan situs jejaring sosial dan pesan instan memang telah membawa dunia lain dalam genggaman kita. Hanya dengan mengaksesnya, kita bisa bertemu dengan jutaan orang dari seluruh penjuru dunia, dan mendapatkan segala informasi dalam hitungan detik. Siapa pula yang bisa melewatkan tawaran menggiurkan ini?
Terlebih, di “dunia” yang ditawarkan gadget ini kita berkuasa penuh. Dengan siapa kita ingin berkomunikasi, akan menjadi siapa kita di dunia itu, dan bagaimana imej yang ingin kita bentuk, semuanya terserah kita. Seperti mendapatkan kesempatan untuk menjadi orang lain.Di Indonesia, demam perangkat ini sudah berlangsung sejak 2008, tepat ketika Facebook naik daun dan penetrasi telefon seluler di di negeri ini melewati angka 50 persen.
Indonesia kini bahkan telah menjadi salah satu negara dengan pengguna Facebook dan Twitter terbesar di dunia, yang penggunanya masing-masing mencapai 51 juta dan 19,5 juta orang.Ini adalah kenikmatan penduduk dunia abad ke-21. Jarak dan waktu bagaikan terbunuh oleh kemajuan teknologi informasi semacam ini.
Namun di lain pihak, kecanggihan teknologi ini juga dapat merugikan kehidupan manusia, terutama bagi mereka yang salah kaprah dalam penggunaannya. Ada orang yang saking terbiasanya menggunakan gadget, berkembang menjadi seorang pecandu gadget atau gadget mania.
Mengutip pendapat pakar teknologi informasi dari Institut Teknologi Bandung(ITB) Dimitri Mahayana, bahwa sekitar 5-10 persen gadget mania terbiasa menyentuh gadgetnya sebanyak 100-200 kali dalam sehari, baik untuk mengirim pesan pendek (SMS), pesan instan, dan mengunggah status. Jika waktu efektif manusia beraktivitas 16 jam atau 960 menit sehari, dengan demikian orang yang kecanduan gadget akan menyentuh perangkatnya itu 4,8 menit sekali!
Wow! Jadi, seorang pecandu gadget akan sulit untuk menjalani kehidupan nyata. Jangankan mengerjakan pekerjaan, untuk diajak ngobrol saja pasti sulit. Kiprah orang-orang seperti ini di dunia nyata akan berkurang, karena perhatiannya tersedot ke dunia maya. Jika dia dipisahkan dengan benda kesayangannya itu, maka diapun akan menjadi gelisah dan tidak dapat beraktifitas di dunia nyata.
Kalau terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin orang seperti ini bisa menjadi seorang pengidap attention deficit disorder (ADD).Ironis ya? Padahal dahulu, jauh sebelum Blackberry, tablet, dan android ditemukan, kita bisa hidup dengan tenang. Sepertinya kebutuhan untuk berkomunikasi dan membangun eksistensi diri di dunia maya tidak pernah begitu mendesak.
Tapi coba bandingkan dengan kondisi sekarang. Ketinggalan Blackberry di rumah ketika kita sudah ada di tempat kerja sungguh membuat frustasi. Kita seperti terisolasi dari dunia pergaulan dan informasi. Rasanya seperti menjadi orang buta yang tidak tahu apa-apa.
Kitapun dengan rela menempuh kembali perjalanan ke rumah hanya demi mengambil sang gadget.Bahkan diperkirakan 80 persen pengguna gadget di Indonesia memiliki perilaku seperti itu. Mereka tidak tahan jika harus berlama-lama berpisah dengan gadgetnya. Hanya sepuluh persen saja pengguna gadget di Indonesia yang mampu membatasi penggunaan gadget di saat-saat tertentu.
Sebagian dari kita berdalih bahwa kebutuhan mereka akan gadget berhubungan dengan keperluan pekerjaan. Argumen ini mungkin benar, karena perangkat ini memang mengandung teknologi yang memudahkan hidup manusia. Akan tetapi, kita juga harus mengakui bahwa penggunaan gadget untuk kepentingan eksistensi dan pencitraan diri porsinya bisa jauh lebih besar ketimbang untuk kepentingan pekerjaan. Bukan begitu?
Penulis juga melihat bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap gadget, rata-rata didorong oleh motif afiliasi. Artinya, mereka membeli gadget untuk menjalin hubungan dengan orang lain, dan bukan atas nama motif kekuasaan atau prestasi. Berbeda dengan masyarakat di negara maju yang membeli gadget untuk membantu menjalankan bisnis.
Maka tidak heran jika pelajar dan mahasiswa di Indonesia menjadi pasar potensial bagi gadget-gadget canggih ini.Kita bisa menjadi siapa saja di dunia maya, dan memberikan pencitraan ideal terhadap teman-teman virtual kita. Seindah apapun pergaulan di sana, jangan lupa, mereka bisa jadi tidak nyata, dan segala kebanggaan yang kita rasa ketika berada di sana, adalah semu.
Tidak cukup berharga untuk menggeser kehidupan nyata kita dengan orang-orang nyata yang ada di sekitar kita. Semoga kita bisa menjadi pengguna gadget yang bijak. (**)
Penulis: Lia Wijaya (Penyiar & Jurnalis asal Bandung, pengguna gadget) 

Comments